Ketika Parameter Nilai Kebenaran Telah Berubah
Al-Quran banyak berkisah tentang beratnya tantangan dakwah para nabi dan rasul ketika menyampaikan risalah.
Ayat dalam surat An-Naml di atas memberi gambaran tentang terjadinya pergeseran nilai dalam sebuah masyarakat. Mereka menganggap bahwa orang yang menjaga kehormatan dan keluhuran etika justru dianggap penjahat yang harus mendapatkan hukuman.
Hingga pada akhirnya orang yang mempunyai keinginan untuk memperbaiki kondisi masyarakat dianggap sebagai perusak dan karenanya harus dienyahkan dari tengah-tengah mereka.
Persis seperti kondisi sekarang di Negeri ini. Seperti terulang kembali apa yang terjadi pada pribadi Musa as yang mana beliau dianggap oleh para pengikut Fir‘aun sebagai perusak (QS: Al-A‘râf [7]: 127). Dan nabi Luth dan kaumnya.
Lain lagi dengan para pembesar kaum Syu‘aib as. Mereka berpandangan bahwa mengikuti ajaran Nabi Syu’aib akan mengantarkan pada kerugian (QS: Al-A‘râf [7]: 90). Tentunya, kerugian di sini bukan kerugian akhirat, melainkan kerugian karena hilangnya kenikmatan hidup, jabatan dan kedudukan, serta berbagai kemunkaran yang selama ini mereka lakukan.
Menariknya, bahwa dalang dan provokator di balik propaganda ini dan sekaligus yang mengkampanyekannya secara massif datang para pembesar dan orang-orang yang terhormat kaum tersebut.
Sejarah Luth, Musa dan Syu’aib nampaknya juga terulang di masa Nabi Shalaallahu ‘Alaihi Wassallam. Dan hari ini, kita yang juga sudah masuk dalam daftar antrian sejarah pelanjut risalah kenabian nampaknya juga akan dan bahkan sedang mengalaminya.
Dalam sebuah riwayat tentang tanda-tanda dekatnya kiamat, Rasulullah saw bersabda:
"Hari Kiamat tidak akan tiba sehingga orang yang dapat dipercayai didustakan, sedangkan orang-orang yang berkhianat justru dipercaya, kemungkaran dan cercaan merupakan kebiasaan umum di tengah masyarakat, terputusnya tali silaturrahmi, dan tetangga yang buruk."
"Demi Dzat yang jiwa Muhammad ini berada pada genggamann-Nya, sesungguhnya seorang mukmin bagaikan sepotong emas, ditempa menjadi apapun emas itu nilainya tak pernah berkurang. Demi Dzat yang jiwa Muhammad ini berada di genggaman-Nya,bahwa orang mukmin itu seperti lebah, "makanannya baik dan menghasilkan yang baik. Lebah itu hinggap pada (ranting) bunga, namun tidak merusak bunganya dan juga tidak mematahkan rantingnya.
[HR. Ahmad, Musnad Al-Mukatstsirîn, hadits no. 6886, [Al-Musnad (2/266)]. Hadits ini shahih dan memiliki syahid yang diriwayatkan dari berbagai jalur yang berbeda [Al-Adawi, Ash-Shahîh Al-Musnad, hal. 398]
Riwayat di atas menjelaskan bahwa parameter masyarakat dalam bersikap terhadap berbagai isu dan permasalahan di sekeliling mereka telah bergeser. Orang-orang shalih dan jujur justru dikhianati dan didustakan. Sebaliknya para pengkhianat, penjilat dan pemakan uang rakyat justru dipercaya.
Hadits tersebut juga mengisyaratkan adanya serangan masif yang dilancarkan oleh media massa kepada para pembela agama Allah di muka bumi. Perang propaganda melalui beragam media dengan memutarbalikkan fakta yang ada telah membuat masyarakat rusak akal sehatnya.
Saat kebohongan telah menjadi bumbu wajib dalam mengemas berita -bahkan bukan lagi bumbu melainkan bahan baku, maka saat itulah masyarakat akan terasing dengan kebenaran dan kejujuran. Wajarlah bila kemudian orang-orang shalih yang jujur akan dicampakkan sementara para pembual akan mendapatkan kehormatan.
Hadits tersebut juga mensinyalir adanya 3 tanda hari Kiamat yang lain, yaitu buruknya hubungan bertetangga, terputusnya tali silaturrahmi, serta tersebarluasnya perbuatan amoral dan menjijikkan.
Boleh jadi tiga tanda tersebut tidak terlihat saling berhubungan. Namun ketika standar kebenaran telah rusak, maka efek buruknya akan melebar di semua sendi kehidupan.
Di zaman sekarang akan sangat mudah kita temukan tipu daya pengikut Dajjal melalui media media sesat dengan segala propaganda dan juga tipe manusia munafik yang mengagung-agungkan pemimpin kafir, dengan alasan yang berbagai macam tentunya, seperti misalnya Islam tidak mengenal diskriminasi suku dan bangsa, pemimpin kafir yang adil lebih baik dari pada pemimpin Islam yang dzalim, dll.
Statement di atas tidak akan muncul jika saja mereka mau merujuk dan mempelajari lebih dalam lagi kitab sucinya. Perhatikan bagaimana Al-Qur’an selalu memakai Kata Auliya (أَوْلِيَاءَ ) dalam bentuk tunggalnya wali ( ولي ) bisa berarti penolong, pelindung, sahabat, ahli waris ataupun pemimpin.
Allah Ta’ala selalu konsisten memakai redaksi kata Auliya di setiap kali melarang umat Islam untuk menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin orang Muslim. hal ini bukan hanya ada di surah Annisa ayat 89, 139 , 144 saja, akan tetapi juga di pakai pada surah-surah lainnya, seperti di surah Al-Imran : 28, Al-Maidah: 51 dan 81, At-Taubah : 23, Mumtahanah : 1, Annisa : 89 dan 144.
Di awal surat al-Baqarah, Allah menyebutkan tiga jenis manusia. Pertama, orang yang beriman, Allah sebutkan dalam lima ayat, kedua, orang kafir, Allah sebutkan dalam dua ayat, dan ketiga, orang munafik, Allah singgung dalam 13 ayat. Di antaranya Allah berfirman,
Di antara manusia ada yang mengatakan: Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian, pada hal mereka itu Sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. (QS. al-Baqarah: 8-9)
Allah berfirman, Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka. (QS. an-Nisa: 145).
0 Response to "Ketika Parameter Nilai Kebenaran Telah Berubah"
Post a Comment